Selasa, 07 Mei 2013

REFORMASI BIROKRASI INDONESIA




KATA PENGANTAR


Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat tuhan yang Maha Esa, atas berkat dan anugerahnya yang dilimpakan hingga penulis atau penyusun makalah ini dapat diselesaikan dengan baik.
Makalah ini merupakan salah satu kegiatan dapat membantu dalam melaksanakan tugas untuk memberikan pengalaman belajar yang dibagikan kepada mahasiswa.
Penulis menyadari sesungguh tanpa campur tangan dari semua pihak, maka kegiatan belajar lancar sehingga penulis dapat selesaikan makalah ini dengan baik.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini mungkin banyak terdapat kesalahan-kesalahan dan masih jauh dari kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritikan-kritikan dari pembaca, dan mudah-mudahan makalah ini dapat mencapai sasaran yang diharapkan dan mudah-mudahan makalah ini juga dapat bermanfaat bagi kita semua.

Ambon, 24 April 2013



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I.  PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
1.2  Rumusan Masalah
1.3  Tujuan
1.4  Manfaat
BAB II. HASIL DAN PEMBAHASAN
2.1  Pengertian Reformasi Birokrasi
2.2  Tujuan Reformasi Birokrasi
2.3  Faktor Penyebab Lambatnya Reformasi Birokrasi Indonesia
2.4  Langkah-Langkah Memajukan Reformasi Birokrasi Indonesia
BAB III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA         




BAB I
PENDAHULUAN

1.1        Latar Belakang
Belakangan ini, dalam segala aspek yang berhubungan dengan pemerintahan, reformasi birokrasi menjadi isu yang sangat kuat untuk direalisasikan. Terlebih lagi,birokrasi pemerintah Indonesia telah memberikan sumbangsih yang sangat besar terhadap kondisi keterpurukan bangsa Indonesia dalam krisis multidimensi yang berkepanjangan. Birokrasi yang telah dibangun oleh pemerintah sebelum era reformasi telah membangun budaya birokrasi yang kental dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Akan tetapi, pemerintahan pascareformasi pun tidak menjamin keberlangsungan reformasi birokrasi terealisasi dengan baik. Kurangnya komitmen pemerintah pascareformasi terhadap reformasi birokrasi ini cenderung berbanding lurus dengan kurangnya komitmen pemerintah terhadap pemberantasan KKN yang sudah menjadi penyakit akut dalam birokrasi pemerintahan Indonesia selama ini. Sebagian masyarakat memberikan cap negatif terhadap komitmen pemerintah pascareformasi terhadap reformasi birokrasi. Ironisnya, sebagian masyarakat Indonesia saat ini, justru merindukan pemerintahan Orde Baru yang dinggap dapat memberikan kemapanan kepada masyarakat, walaupun hanya kemapanan yang bersifat semu.
Birokrat, sebagai pembentuk kebijakan yang bersifat publik dipengaruhi oleh berbagai faktor. Dengan demikian, seringkali kebijakan yang dilahirkan oleh para birokrat tidak menyentuh kepentingan masyarakat tidak bersifat populis. Bukan tidak mungkin, berbagai faktor tersebut, baik yang bersifat internal maupun eksternal, yang menyebabkan negara ini semakin larut dalam keterpurukan. Sebagaimana telah diketahui oleh kalangan yang peduli terhadap pembaruan hukum tanah air, beberapa peraturan perundang-undangan yang menjadi produk lembaga legislatif di Indonesia merupakan hasil “pesanan” International Monetary Fund (IMF). Keterlibatan lembaga donor lintas negara .
Sejak gerakan reformasi mencapai puncaknya pada Mei 1998, sejumlah perubahan yang cukup signifikan mulai bergulir. Presiden B.J. Habibie, yang semula Wapres, harus memulai perubahan, dari gaya hingga proses pengambilan keputusan kebijakan public. Jika dulu dianggap tabu sehingga selalu dilarang, kini mendemo presiden adalah soal biasa. Habibie juga segera mengambil langkah besar. Salah satunya adalah mempercepat pemilu, yang tentu harus didahului dengan Sidang Istimewa MPR 1998. Semula pemilu dijadwalkan pada 2002, tetapi kemudian dipercepat pada 1999. Berdasarkan fenomena ini, penulis ingin mengetahui lebih lanjut penyebab-penyebabnya. Oleh karena itu, makalah ini dibuat dengan diberikan judul “Reformasi Birokrasi Indonesia.

1.2        Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas penulis dapat menyimpulkan beberapa rumusan masalah yaitu:
1.      Apakah yang dimaksud reformasi birokrasi?
2.      Apakah yang menjadi tujuan dari reformasi birokrasi?
3.      Mengapa reformasi birokraasi di Indonesia berjalan lambat?
4.      Apa saja langkah-langkah yang dapat dilakukan agar reformasi birokrasi Indonesia tidak berjalan dengan lambat.

1.3        Tujuan
Adapun beberapa tujuan yang dapat diketahui di dalam  penulisan makalah ini antara lain:
1.      Untuk mengetahui serta memahami pengertian reformasi birokrasi
2.      Untuk mengetahui serta memahami tujuan reformasi birokrasi.
3.      Untuk memberikan gambaran serta informasi mengenai factor penyebab reformasi birokrasi Indonesia berjalan lambat
4.      Untuk mengetahui langkah yang dapat diambil agar reformasi birokrasi Indonesia tidak berjalan dengan lambat lagi.

1.4        Manfaat
Adapun manfaat yang dapat diambil dari penulisan makalah ini adalah:
1.      Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pembaca mengenai reformasi birokrasi Indonesia..
2.      Hasil dari penulisan ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan yang sudah dapat selama pendidikan dan merupakan pengalaman yang berharga bagi penulis dalam rangka menambah wawasan pengetahuan tentang reformasi birokrasi Indonesia.

BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1      Pengertian Reformasi Birokrasi
Reformasi adalah mengubah atau membuat sesuatu menjadi lebih baik daripada yang sudah ada. Reformasi ini diarahkan pada perubahan masyarakat yang termasuk didalamnya masyarakat birokrasi, dalam pengertian perubahan ke arah kemajuan. Dalam pengertian ini perubahan masyarakat diarahkan pada development (Susanto, 180). Karl Mannheim sebagaimana disitir oleh Susanto menjelaskan bahwa perubahan masyarakat adalah berkaitan dengan norma-normanya. Development adalah perkembangan yang tertuju pada kemajuan keadaan dan hidup anggota masyarakat, dimana kemajuan kehidupan ini akhirnya juga dinikmati oleh masyarakat.
Reformasi birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan dan sumber daya manusia aparatur”
Sangat menarik membicarakan tentang birokrasi, karena dalam realita kehidupan birokrasi terkesan negatif dan menyulitkan dalam melayani masyarakat, padahal para pegawai birokrasi itu dibayar dari duit masyarakat. Dan terkadang wewenang yang diberikan kepada pegawai dari birokrasi disalahgunakan. Oleh karena itu sangat diperlukan adanya reformasi birokrasi.
Dengan demikian maka perubahan masyarakat dijadikan sebagai peningkatan martabat manusia, sehingga hakekatnya perubahan masyarakat berkait erat dengan kemajuan masyarakat. Dilihat dari aspek perkembangan masyarakat tersebut maka terjadilah keseimbangan antara tuntutan ekonomi, politik, sosial dan hukum, keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta konsensus antara prinsip-prinsip dalam masyarakat (Susanto: 185-186).
Khan (1981) memberi pengertian reformasi sebagai suatu usaha perubahan pokok dalam suatu sistem birokrasi yang bertujuan mengubah struktur, tingkah laku, dan keberadaan atau kebiasaan yang telah lama. Sedangkan Quah (1976) mendefinisikan reformasi sebagai suatu proses untuk mengubah proses, prosedur birokrasi publik dan sikap serta tingkah laku birokrat untuk mencapai efektivitas birokrasi dan tujuan pembangunan nasional. Aktivitas reformasi sebagai padanan lain dari change, improvement, atau modernization. Dari pengertian ini, maka reformasi ruang lingkupnya tidak hanya terbatas pada proses dan prosedur, tetapi juga mengaitkan perubahan pada tingkat struktur dan sikap tingkah laku (the ethics being). Arah yang akan dicapai reformasi antara lain adalah tercapainya pelayanan masyarakat secara efektif dan efisien.Reformasi bertujuan mengoreksi dan membaharui terus-menerus arah pembangunan bangsa yang selama ini jauh menyimpang, kembali ke cita-cita proklamasi. Reformasi birokrasi penting dilakukan agar bangsa ini tidak termarginalisasi oleh arus globalisasi.
Reformasi ini harus dilakukan mulai dari pejabat tertinggi, seperti presiden dalam suatu negara atau menteri/kepala lembaga pada suatu departemen dan kementerian negara/lembaga negara, sebagai motor penggerak utama diikuti oleh seluruh aparatur dibawahnya. Reformasi birokrasi Indonesia untuk saat ini dapat dikatakan belum berjalan dengan maksimal. Indikasinya adalah buruknya pelayanan publik dan masih maraknya perkara korupsi.
Berbagai permasalahan/hambatan yang mengakibatkan sistem penyelenggaraan pemerintahan tidak berjalan atau diperkirakan tidak akan berjalan dengan baik harus ditata ulang atau diperharui. Reformasi birokrasi dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Dengan kata lain, reformasi birokrasi adalah langkah strategis untuk membangun aparatur negara agar lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mengemban tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional. Selain itu dengan sangat pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi informasi dan komunikasi serta perubahan lingkungan strategis menuntut birokrasi pemerintahan untuk direformasi dan disesuaikan dengan dinamika tuntutan masyarakat. Oleh karena itu harus segera diambil langkah-langkah yang bersifat mendasar, komprehensif, dan sistematik, sehingga tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan dapat dicapai dengan efektif dan efisien. Reformasi di sini merupakan proses pembaharuan yang dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan, sehingga tidak termasuk upaya dan/atau tindakan yang bersifat radikal dan revolusioner.
Reformasi adalah mengubah atau membuat sesuatu menjadi lebih baik daripada yang sudah ada. Reformasi ini diarahkan pada perubahan masyarakat yang termasuk didalamnya masyarakat birokrasi, dalam pengertian perubahan ke arah kemajuan. Dalam pengertian ini perubahan masyarakat diarahkan pada development (Susanto, 180). Karl Mannheim sebagaimana disitir oleh Susanto menjelaskan bahwa perubahan masyarakat adalah berkaitan dengan norma-normanya. Development adalah perkembangan yang tertuju pada kemajuan keadaan dan hidup anggota masyarakat, dimana kemajuan kehidupan ini akhirnya juga dinikmati oleh masyarakat. Dengan demikian maka perubahan masyarakat dijadikan sebagai peningkatan martabat manusia, sehingga hakekatnya perubahan masyarakat berkait erat dengan kemajuan masyarakat.
Dari pengertian ini, maka reformasi ruang lingkupnya tidak hanya terbatas pada proses dan prosedur, tetapi juga mengaitkan perubahan pada tingkat struktur dan sikap tingkah laku (the ethics being). Arah yang akan dicapai reformasi antara lain adalah tercapainya pelayanan masyarakat secara efektif dan efisien. Reformasi bertujuan mengoreksi dan membaharui terus-menerus arah pembangunan bangsa yang selama ini jauh menyimpang, kembali ke cita-cita proklamasi. Reformasi birokrasi penting dilakukan agar bangsa ini tidak termarginalisasi oleh arus globalisasi. Reformasi ini harus dilakukan oleh pejabat tertinggi, seperti presiden dalam suatu negara atau menteri/kepala lembaga pada suatu departemen dan kementerian negara/lembaga negara, sebagai motor penggerak utama.
Reformasi birokrasi merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai good governance. Melihat pengalaman sejumlah Negara menunjukan bahwa reformasi birokrasi merupakan langkah awal untuk mencapai kemajuan sebuah Negara. Melalui reformasi birokrasi, dilakukan penataan terhadap system penyelenggaraan pemerintahan yang tidak hanya efektif dan efesien tapi juga reformasi birokrasi menjadi tulang punggung dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Reformasi birokrasi memang akan diterapkan dijajaran kementerian dan lembaga pemerintah. Mereformasi birokrasi kementerian dan lembaga memang sudah saatnya dilakukan sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi saat ini. Dimana birokrasi dituntut untuk dapat melayani masyarakat secara cepat, tepat dan profesional. Birokrasi merupakan faktor penentu dalam mencapai tujuan pembangunan nasional.
Oleh sebab itu cita-cita reformasi birokrasi adalah terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang professional, memiliki kepastian hukum, transparan, partisipatif, akuntable dan memiliki kredibilitas serta berkembangnya budaya dan perilaku birokrasi yang didasari oleh etika, pelayanan dan pertanggungjawaban public serta integritas pengabdian dalam mengemban misi perjuangan bangsa mewujudkan cita-cita dan tujuan bernegara. Reformasi birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business prosess) dan sumber daya manusia aparatur. Reformasi birokrasi Indonesia menempatkan pentingnya rasionalisasi birokrasi yang menciptakan efesiensi, efektifitas, dan produktifitas melalui pembagian kerja hirarkikal dan horizontal yang seimbang, diukur dengan rasio antara volume atau beban tugas dengan jumlah sumber daya disertai tata kerja formalistic dan pengawasan yang ketat.

2.2        Tujuan Reformasi Birokrasi
Tujuan Reformasi Birokrasi yaitu agar terciptanya good governance, yaitu tata pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa :
1.      Memperbaiki kinerja birokrasi agar lebih efektif dan efisien
2.      Terciptanya birokrasi yang profesional, netral, terbuka, demokratis, mandiri, serta memiliki integritas dan kompetensi dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya selaku abdi masyarakat dan abdi negara
3.       Pemerintah yang bersih (clean government)
4.      Bebas KKN
5.      Meningkatkan kualitas pelayanan terhadap masyarakat.

2.3         Faktor Penyebab Lambatnya Reformasi Birokrasi Indonesia
Ketika reformasi birokrasi dimaknai sebagai perubahan positif dalam tubuh birokrasi, maka sebenarnya kita telah melakukan reformasi tersebut dalam waktu yang cukup lama. Pencanangan pembangunan aparatur pemerintah dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) pada masa lalu adalah gambaran bahwa reformasi birokrasi bukan sesuatu yang baru dalam birokrasi pemerintah. Bahkan, jika kita kembali membuka dokumen penataan kelembagaan pasca revolusi 1945 dan program-program pembangunan sejak tahun pertama penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, semangat untuk melaksanakan reformasi birokrasi sudah dapat kita temukan.
Namun demikian, reformasi bukan hanya sebuah proses perubahan. Reformasi adalah proses perubahan yang terencana dalam kerangka demokratisasi dan terbentuknya civil society. Indikator reformasi birokrasi antara lain adalah terwujudnya efisiensi, efektivitas, akuntabilitas, partisipasi, transparansi, dan rule of law dalam birokrasi. Dalam pemaknaan reformasi tersebut, maka reformasi birokrasi mendapatkan momentumnya berbarengan dengan lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan pada tahun 1998. Proses reformasi birokrasi kemudian terus bergulir, dan dikuatkan dengan berbagai kebijakan, antara lain: penetapan TAP MPR RI No. X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan nasional sebagai Haluan Negara, amandemen UUD 1945, penetapan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU No. 5 Tahun 1974, dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam kaitannya dengan upaya menciptakan birokrasi yang bersih, telah ditetapkan pula beberapa kebijakan penting seperti TAP MPR RI No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Kolusi, Korupsi dan Nepotisme, UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme, dan Inpres No. 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Beberapa kebijakan pemerintah telah ditetapkan dalam kerangka reformasi birokrasi.
Namun demikian, setelah lima tahun sejak digulirkannya reformasi, proses reformasi berjalan sangat lambat. Beberapa gambaran nyata tentang kondisi umum birokrasi pemerintah sekarang ini antara lain:
1.      Praktek KKN terjadi secara meluas dan dianggap perbuatan yang biasa atau membudaya pada hampir semua tingkatan, baik dalam lembaga eksekutif maupun legislatif, di pusat dan daerah. Penanganan terhadap berbagai kasus KKN pun tampak setengah hati, kurang tuntas dalam penindakan hukumnya;
2.      Kegiatan manjemen banyak diwarnai dengan praktek perbuatan in-efisiensi, seperti tindakan pemborosan dan tidak hemat;
3.      Mutu penyelenggaraan pelayanan publik masih lemah, banyak terjadi praktek pungli, tidak ada kepastian, prosedur berbelit-belit; dan
4.      Otonomi daerah sebagai instrumen demokratisasi telah dimaknai kurang tepat sehingga memunculkan berbagai efek negatif dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Kondisi tersebut memberikan gambaran bahwa perwujudan civil society melalui reformasi birokrasi masih sangat jauh dari jangkauan. Data Transparency International tahun 2003 menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat korupsi sangat tinggi dan berada pada peringkat 122 dari 133 negara yang disurvai. Indonesia mendapatkan nilai 1,9 dari rentang antara 0 untuk negara sangat korup dan 10 untuk Negara sangat bersih. Gambaran birokrasi pemerintah kita tersebut menunjukkan kondisi yang dipenuhi dengan berbagai kelemahan. Namun demikian, hal ini tidak bermakna bahwa reformasi birokrasi telah gagal. Beberapa kemajuan dalam proses demokratisasi telah dicapai, seperti penguatan pemerintah daerah melalui penerapan desentralisasi dalam sistem pemerintahan, penguatan lembaga legislatif, dan penyelenggaraan pemilihan presiden-wakil presiden secara langsung oleh rakyat sebagai konsekuensi amandemen UUD 1945. Permasalahan dalam reformasi birokrasi adalah kelambanan dari proses reformasi birokrasi tersebut, dan hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, terutama faktor manajemen.

2.4         Langkah-Langkah Memajukan Reformasi Birokrasi Indonesia
Mengikuti pemikiran Berger (1994) dalam manajemen perubahan (change management), maka hal pertama yang harus dilakukan dalam rangka reformasi birokrasi adalah mengenali apa yang disebut sebagai pemicu perubahan (change trigger). Dalam birokrasi pemerintah, pemicu perubahan (pemicu reformasi) tersebut dapat bersumber dari internal maupun eksternal birokrasi, dijumpai dalam bentuk permasalahan, peluang dan kecenderungan yang potensial mempengaruhi kinerja organisasi di masa depan. Sekali pemicu tersebut diketemukan, birokrasi harus dapat merumuskan kebijakan dan program-program reformasi. Dalam birokrasi pemerintah kita, bentuk yang sangat penting dari pemicu tersebut adalah tuntutan masyarakat dan tekanan dunia internasional akan good governance.
Dalam rangka reformasi birokrasi, perubahan budaya birokrasi adalah suatu kebutuhan yang sangat mendasar. Tanpa perubahan budaya, proses reformasi birokrasi akan mengalami banyak hambatan dan bahkan penolakan yang muncul baik dari dalam ataupun luar birokrasi. Perombak nilai dan peletakkan nilai-nilai baru ini, bukan pekerjaan yang sederhana. Perombakan nilai memerlukan strategi yang holistic, melingkupi berbagai faktor yang membentuk budaya birokrasi, seperti:
1.      Pengaruh eksternal yang luas, seperti lingkungan alam dan peristiwa-peristiwa sejarah yang membentuk masyarakat;
2.      Nilai-nilai masyarakat dan budaya nasional;
3.      Unsur-unsur khas dari organisasi; dan
4.       Nilai-nilai dasar dari koalisi dominan, yakni kelompok yang memiliki kekuasaan dan kendali yang paling besar. (Tosi, Rizzo, dan Carroll dalam Munandar, 2001).

Change management perlu diterapkan dan diimplementasikan di dunia birokrasi pemerintah atau public governance. Oleh karena itu, hal ini harus dikawal dengan pengendalian tanpa kompromiatau toleransi. Artinya pelaksanaannya harus sesuai dengan target dan sasaran yang telah diputuskan , serta diiringi dengan jaminan dan kendali mutu yang ketat.
Change management atas birokrasi pemerintahan yang implementasinya minimal harus mencakup hal-hal sebagai berikut;
1.      Menghentikan pendarahan:
a.       Lemahnya komitmen pimpinan dalam perbaikan birokrasi.
b.      Inefisiensi, baik tergolong penyimpangan atau tidak.
c.       Pemekaran wilayah dan lembaga Negara/komisi yang mengakibatkan pemekaran birokrasi.
d.      “lomba glamor” fasilitas antar birokrat.
2.      Batas waktu pelaksanaan change management secara serius, serempak, dan direalisasikan tanpa kompromi atau toleransi.
3.      Jabatan eselon satu dan eselon dua harus dipegang oleh leader-manager yaitu birokrat atau pejabat yang memahami, menghayati, dan mempraktikkan management leadership (kepemimpinan manajemen).
4.      Benchmarking ke beberapa Negara untuk merumuskan detail management.
5.      Terwujudnya standar kinerja dan indicator keberhasilan yang konkret, jelas, dapat dipraktikkan, dan dapat diukur dengan mekanisme pengendalian yang efektif, efesien, dan tepat sasaran sehingga pengendalian mutuakan terjamin.
6.      Mendayagunakan lembaga pengawasan untuk menjalankan peran kendali mutu dan membentuk lembaga yang menjalankan peran penjaminan mutu agar dapat sampai pada target yang telah ditetapkan dengan standar yang ada.
7.      Pengawasan mencakup evaluasi mendasar terhadap rencana kerja departemen/lembaga non-departemen secara ketat.
8.      Peningkatan gaji PNS secara signifikan.
9.      Restrukturasi PNS.
10.  Perubahan system pendidikan dan latihan.






BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan isi dan pembahasan, penulis dapat menyimpulkan beberapa kesimpulan diantaranya:
1.      Reformasi birokrasi merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai good governance. Melihat pengalaman sejumlah Negara menunjukan bahwa reformasi birokrasi merupakan langkah awal untuk mencapai kemajuan sebuah Negara.
2.      Tujuan Reformasi Birokrasi yaitu agar terciptanya good governance, yaitu tata pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa.
3.      Permasalahan dalam reformasi birokrasi adalah kelambanan dari proses reformasi birokrasi tersebut, dan hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, terutama faktor manajemen.
4.      Hal pertama yang harus dilakukan dalam rangka reformasi birokrasi adalah mengenali apa yang disebut sebagai pemicu perubahan (change trigger). Dalam birokrasi pemerintah, pemicu perubahan (pemicu reformasi) tersebut dapat bersumber dari internal maupun eksternal birokrasi, dijumpai dalam bentuk permasalahan, peluang dan kecenderungan yang potensial mempengaruhi kinerja organisasi di masa depan.

3.2  Saran
Adapun saran yang dapat diberikan kepada pembaca dan penulis mengenai makalah ini adalah:
1.      Diharapkan penulis dapat mengembangkan dan melanjutkan penulisan makalah mengenai reformasi birokrasi Indonesia ini.
2.      Diharapkan hasil penulisan makalah ini dapat dijadikan sebagai bahan bacaan dan ilmu pengetahuan.


DAFTAR PUSTAKA



Andrain, Charles F.1992. Kehidupan Politik dan Perubahan Social. Yogyakarta: PT. Tiara   Wacana Yogya
http://blog.sivitas.lipi.go.id/blog.cgi?isiblog&1253275195&&&1036006290&&1351657451&ayur001&
Azizy, A. Qodri. Change Management dalam Reformasi Birokrasi. 2007. Jakarta: PT: Gramedia Pustaka Utama
Budiardjo, Miriam. 2009. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Kusnardi, Ibrahim H. 1976. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI dan CV “Sinar Bakti”
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia
Undang-undang. No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

MAKALAH MEWIRAUSAHAKAN BIROKRASI



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.            Latar Belakang
Berdasarkan kenyataan jelek tersebut, maka diperlukan suatu upaya perubahan terhadap paradigma masyarakat yaitu melalui pendekatan sosial-budaya, serta upaya pembersihan citra negatif birokrasi dan aparaturnya (PNS) agar terbentuk sosok PNS yang bersih dan profesional melalui upaya sistematis dan komprehensif.
Secara mendasar pemerintahan dan perusahaan adalah lembaga yang berbeda. Pimpinan perusahaan didorong oleh motif laba untuk terus dapat menjalankan produksi demi keberlangsungan usahanya, sedangkan pimpinan pemerintahan didorong oleh keinginan untuk kelanggengan kekuasaannya dan keuntungan pribadi tanpa memperdulikan kondisi birokrasi dan orang-orang yang dilayaninya. Perusahaan memperoleh income dari konsumennya, sedangkan pemerintah lebih besar memperoleh income dari sektor pajak. Perusahaan biasanya didorong oleh kompetisi, sedangkan pemerintahan biasanya didorong oleh kepentingan.
Kondisi seperti ini bersama-sama menciptakan pola pikir dimana PNS memandang resiko dan gaji secara amat berbeda dengan pegawai swasta. Resiko pemecatan PNS sangatlah kecil karena melewati prosedur yang rumit dan mempunyai ruang yang bisa ‘dikondisikan’, serta untuk mendapatkan gaji PNS tidak terbebani oleh kinerja yang baik. Sedangakan pekerja swasta sangat rentan terhadap pemecatan karena mereka harus selalu memberikan kinerja yang baik terhadap perusahaan. Pemerintah cendrung memperlakukan pegawainya dengan ‘adil’ tanpa memandang kemampuan mereka atau tuntutan mereka terhadap pelayanan publik. Hal ini hanya menghabiskan anggaran untuk belanja pegawai yang mencapai nilai ratusan triliyun rupiah. Oleh karena itu pemerintahan sebenarnya tidak bisa meraih efisiensi seperti dalam bisnis.






1.2.            Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah dalam  penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :
1.      Apakah Yang  Dimaksud  Dengan Mewirausahakan Birokrasi.
2.      Bagaimna Mewirausahakan Birokrasi Pemerintah Daerah Di Era Good Local Governance.
3.      Bagaimana mengupaya perubahan birokrasi dan aparaturnya melalui ‘mewirausahakan birokrasi.
4.      Bagaimana Transformasi kewirausahaan dalam birokrasi

1.3.            Tujuan
Adapun beberapa tujuan yang dapat diketahui di dalam  penulisan makalah ini antara lain:

1.      Untuk mengetahui serta memahami Mewirausahakan Birokrasi
2.      Untuk mengetahui serta memahami Mewirausahakan Birokrasi Pemerintah Daerah Di Era Good Local Governance
3.      Untuk mengetahui serta memahami perubahan birokrasi dan aparaturnya melalui ‘mewirausahakan birokrasi.
4.      Untuk mengetahui serta memahami Transformasi kewirausahaan dalam birokrasi


1.4.            Manfaat
Adapun manfaat yang dapat diambil dari penulisan makalah ini adalah:
1.      Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pembaca mengenai Mewirausahakan Birokrasi
2.      Hasil dari penulisan ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan yang sudah dapat selama pendidikan dan merupakan pengalaman yang berharga bagi penulis dalam rangka menambah wawasan pengetahuan tentang Mewirausahakan Birokrasi




BAB II
PEMBAHASAN


2.1.          Mewirausahakan Birokrasi
Penjelasan kalimat mewirausahakan birokrasi adalah bukan bagaimana birokrasi tersebut melakukan wirausaha untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, namun mewirausahakan birokrasi disini berarti mengubah system, atau pengaturan birokrasi yang kaku, kulturis, dan irasional.
Di era otonomi daerah ini menurut saya konsep mewirausahakan birokrasi sangatlah baik untuk diterapkan karena dengan adanya otonomi membuat setiap daerah berupaya untuk mengatur birokrasi agar dapat berjalan secara akuntabilitas, responsive, inovatif dan professional serta entrepreneur. entrepreneur disini berarti pemerintah daerah mempunyai semangat kewirausahaan dimana birokrasi diusahakan
lebih inovatif dalam memberikan pelayanan public agar dapast menjawab perkembangan masyarakat di era globalisasi.
Mewirausahakan birokrasi sangatlah tepat diterapkan pada pendekatan
New Public Manajemen (NPM) dimana orientasi birokrasi yang lebih demokratis dan fleksibel tergantung pada perkembangan masyarakat, adanya tingkat rasio yang tinggi, dan masyarakat mempunyai posisi tawar yang tinggi dalam menerima pelayanan publik.
Konteks kemunculan mewirausahakan birokrasi berawal dari
1.      Organ pemerintah yang gemuk dan lamban, sehingga cenderung bersifat spending daripada mendatangkan profit dalam wilayah fiskal.
2.      Pelayanan publik yang tidak efektif dan lambat, sehingga melahirkan ketidakpercayaan masyarakat pada kapasitas pemerintah dalam menyelrnggarakan pelayanan publik.

Mewirausahakan birokrasi menurut William Hudnut menyatakan bahwa :
Pemerintahan wirausaha bersedia meninggalkan program lama. Ia bersifat inovatif, imajinatif dan kreatif, serta berani mengambil resiko. Ia juga mengubah beberapa fungsi kota menjadi sarana penghasil uang daripada menguras anggaran, menjauhkan diri dari alternatif tradisional yang hanya memberikan sistem penopang hidup. Ia bekerja-sama dengan sektor swasta, menggunakan pengertian bisnis yang mendalam, menswastakan diri, mendirikan berbagai perusahaan yang menghasilkan laba. Ia berorientasi pasar, memusatkan pada ukuran kinerja, memberi penghargaan pada jasa. Ia pun harus mengatakan: mari kita selesaikan pekerjaan ini dan tidak takut untuk memimpikan hal-hal besar.

2.2.          Mewirausahakan Birokrasi Pemerintah Daerah Di Era Good Local Governance
Mewirausahakan Birokrasi Pemerintah Daerah Di Era Good Local Governance pertama kali disampaikan oleh David Osborne dan Ted Gaebler dalam buku mereka yang berjudul Reinventing Government: How the enterpreneurial spirit is transforming the public sektor. Buku tersebut ditulis sebagai saran untuk membantu pencarian solusi di pemerintah Amerika Serikat pada tahun 1993 yang menanggung beban berat sebagai akibat ditanganinya seluruh kegiatan atau kebutuhan negara oleh pemerintah federal. Meskipun disambut dengan sikap skeptis, lambat namun pasti, apa yang disampaikan Osborne dan Gaebler dalam buku tersebut ternyata membawa angin segar bagi pemerintah federal dalam menyikapi permasalahan yang sedang dihadapi pada saat itu.
Apa yang terjadi pada pemerintahan Amerika Serikat pada saat itu sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kondisi Indonesia saat ini yang sedang mengawali era GLG dimana sebagian wewenang pemerintah pusat didelegasikan pada pemerintahan di daerah. Di GLG, pejabat negara (di daerah) harus kreatif, mandiri dan inovatif dalam melaksanakan tugas-tugas kepemerintahannya karena inti dari otonomi daerah ialah keleluasaan dan kebebasan lebih luas untuk menggali dan mengolah aset-aset alamiahnya. Mereka akan lebih banyak bekerjasama langsung dan lebih luas dengan swasta. Hal inilah yang menjadi cakupan dalam Reinventing Government yang sering disebut juga dengan Mewirausahakan Birokrasi.
Permasalahan yang sering muncul dalam memahami reinventing government adalah adanya anggapan bahwa dengan adanya konsep mewirausahakan birokrasi tersebut berarti kantor dinas/ instansi di Pemerintahan Daerah (pemda) dituntut untuk “berbisnis” agar dapat memberi nilai tambah untuk PAD. Padahal, maksud yang sebenarnya adalah memberdayakan institusional. Bukan menciptakan “pengusaha” dalam lingkungan birokrasi pemerintahan.
Menurut Osborne dan Gaebler, mewirausahakan birokrasi berarti mentransformasikan semangat wirausaha ke dalam sektor publik. Di era otonomi daerah, dimana pemerintah di daerah dituntut untuk bisa mandiri, usaha tersebut dapat diterapkan agar produktivitas dan efisiensi kerja Pemda bisa dioptimalkan. Oleh karena itu, pemahaman atas cara-cara mewirausahakan birokrasi Pemerintahan Daerah harus dikuasai oleh aparat birokrasi, terlebih-lebih oleh Bupati/ Walikota termasuk pimpinan pada tiap-tiap instansi / dinas.
Berkaitan dengan hal tersebut, Osborne dan Gaebler mengemukakan sepuluh prinsip untuk mebentuk birokrasi-wirausaha, yaitu:
1)             Pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus lebih menjadi pengarah daripada menjadi pelaksana. Misalnya adalah bekerjasama dengan pihak swasta dalam melakukan pemungutan pajak, akan tetapi penentuan Wajib Pajak dan besarnya pungutan pajak tetap dilakukan oleh pemerintah.
2)             Pemerintah sebagai milik masyarakat harus lebih memberdayakan masyarakat ketimbang terus-menerus melayani masyarakat. Salah satu upayanya adalah dengan menghimbau masyarakat agar mampu mengurus keamanan lingkungannya sendiri.
3)             Pemerintah sebagai institusi yang berada di alam kompetisi haruslah menyuntikkan semangat persaingan ke dalam tubuh aparat dan organisasi pelayanannya. Misalnya dengan memberikan peluang bagi swasta dalam menangani urusan-urusan yang dimonopoli pemerintah, seperti air minum, listrik, dan telepon.
4)             Unit-unit pemerintahan sebagai lembaga yang bertugas mewujudkan misi harus lebih diberi kebebasan dalam berkreasi dan berinovasi. Untuk itu, petunjuk pelaksanaan yang kaku dan mengikat harus dihindarkan, baik mengenai keuangan, kepegawaian, maupun pelayanan kepada masyarakat.
5)             Pemerintah harus lebih mementingkan hasil yang akan dicapai daripada terlalu memfokuskan pada faktor masukan (input). Misalnya, pemberian bantuan untuk suatu sekolah haruslah lebih didasarkan kepada kinerja dan produktivitasnya daripada jumlah muridnya.
6)             Pemerintah sebagai pelayan masyarakat harus lebih mementingkan terpenuhinya kepuasan pelanggan, bukannya memenuhi apa yang menjadi kemauan birokrasi itu sendiri. Untuk itu, cara-cara baru dalam memikat pelanggan harus dilakukan.
7)             Pemerintah sebagai suatu badan usaha harus pandai mencari uang dan tidak hanya bisa membelanjakannya. Oleh karena itu, cara-cara mencari sumber penghasilan yang baru dan menggalakkan investasi harus selalu menjadi pemikiran para manajer pemerintahan.
8)             Pemerintah sebagai lembaga yang memiliki daya antisipatif harus mampu mencegah daripada hanya menanggulangi masalah. Misalnya soal kebakaran, dengan memakai prinsip ini, bukan mobil pemadam kebakaran yang dibeli terus tetapi supervisi/ pengawasan terhadap bangunan yang harus ditingkatkan.
9)             Pemerintah harus menggeser pola kerja hierarki yang dianut ke model kerja partisipasi dan kerja sama. Misalnya, rantai organisasi yang panjang dan ‘gemuk’ harus dikurangi, struktur organisasi yang tebal harus ditipiskan, dan gugus kendali mutu harus dikembangkan.
10)         Pemerintah sebagai pihak yang berorientasi pada pasar harus berusaha mengatrol perubahan lewat penguasaannya terhadap mekanisme pasar. Misalnya, dalam menangani sampah yang berasal dari botol minuman, daripada membiayai usaha daur ulang yang mahal, lebih baik pemerintah mensyaratkan pengusaha minuman untuk membayar setiap pembeli yang mengembalikan botolnya.
Berdasarkan kesepuluh cara tersebut di atas, tidak dapat dihindari bahwa upaya mewirausahakan birokrasi akan berdampak pada perubahan-perubahan (reformasi) dalam instansi Pemda. Perubahan yang dilakukan adalah dalam rangka melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap mekanisme birokrasi-wirausaha di setiap lapisan birokrasi. Perubahan tersebut dapat berupa debirokratisasi, deregulasi, rekonstruksi pemerintahan daerah, reposisi instansi-instansi, bahkan rasionalisasi pegawai. Dalam perkembangannya, upaya-upaya penyesuaian tersebut harus dapat menjamin terciptanya produktivitas dan efisiensi kerja Pemda yang maksimal.
Lebih meluas lagi, upaya mewirausahakan birokrasi Pemerintah Daerah, disamping untuk mewujudkan pemerintahan yang mandiri, juga untuk menunjang perubahan peran pemerintah dalam mengahdapi perkembangan masyarakat yang semakin pesat di era Globalisasi. Ada beberapa faktor yang dapat diidentifikasi atas perubahan peran pemerintah tersebut, yaitu:
·         Semakin kompleksnya permasalahan-permasalahan di sektor publik sebagai akibat berkembangnya teknologi dan informasi
·         Kenyataan telah membuktikan bahwa monopoli yang dilakukan pemerintah tidak menghasilkan pelayanan yang lebih baik dan adanya tuntutan menyangkut distribusi sumber daya yang lebih baik ditentukan oleh mekanisme pasar
·         Mulai turunnya kepercayaan atas peran pemerintah dalam menyelesaikan masalah-masalah di sektor publik
·         Akibat kemajuan masyarakat, terjadi perubahan tuntutan agar pemerintah memberikan pelayanan dengan lebih baik karena adanya perubahan nilai-nilai dalam masyarakat
·         Ada fakta/ realita bahwa sektor swasta lebih baik dalam memberikan pelayanan daripada sektor public
Permsalahan utama yang muncul dalam mewirausahakan birokrasi di pemerintahan daerah pada dasarnya terletak pada instansi/ dinas Pemda itu sendiri. Sejauh mana pelaku birokrasi dapat mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi baik di lingkungan organisasi internal maupun di masyarakat, seberapa besar usaha pemerintah daerah untuk mentransformasikan semangat wirausaha ke dalam sektor publik dan bagaimana mereka menyikapi perubahan-perubahan yang terjadi merupakan langkah-langkah yang harus diambil secara tepat.
Laju komunikasi, teknologi dan informasi yang berkembang dengan cepat, meningkatnya tensi-tensi politik dan tuntutan orang terhadap pelayanan yang baik adalah alasan yang sangat kuat untuk merubah birokrasi yang lambat, lama dan berliku-liku menuju birokrasi yang cepat, efektif, efisien, dan komprehensif. Disamping itu, upaya-upaya memandirikan dan meningkatkan produktivitas Pemda juga menimbulkan munculnya jenis-jenis tugas baru dalam pemerintahan daerah. Industrialisasi, perdagangan antar daerah, investasi asing di daerah, pengelolaan bantuan luar negeri di daerah dan hal-hal baru yang ditanggung pemda akibat adanya otonomi dari pusat mengharuskan pejabat-pejabat (birokrat) di daerah bekerja dengan spirit wirausaha.
Pada saat ini, di era otonomi daerah, di era globalisasi, di era good local governance, semangat wirausaha menjadi kebutuhan yang sangat diperlukan bagi setiap aparatur pemerintahan, dari lapisan yang paling baah sampai di tingkat atas, karena hampir setiap jenis organisasi berhubungan dengan kinerja yang inovatif dan produktif. Sepuluh cara mewujudkan reinventing government yang disampaikan Osborne dan Gaebler tersebut di atas secara praktis telah sukses dilakukan dan secara teoritis relevan untuk ditransformasikan, perkembangan kehiduan sosial masyarakat Indonesia pun telah mendukung ke arah tersebut. Jadi, tidak perlu menunggu lama lagi untuk mewirausahakan birokrasi. Paling tidak usaha tersebut bisa dilakukan mulai dari diri kita sendiri, mulai dari hal yang kecil dan mulai dari saat ini.

2.3.            Upaya perubahan birokrasi dan aparaturnya melalui ‘mewirausahakan birokrasi’.
Tulisan yang disadur dari pikiran David Osborne dan Ted Gaebler dalam bukunyaberjudul ‘Reinventing Government’ ini mencoba mencari jalan keluar terhadap permasalahan birokrasi melalui penerapan konsep kewirausahaan, baik terhadap sistem birokrasi itu sendiri maupun terhadap aparaturnya. Gagasan ini mencoba memulai dari hal yang sangat berdekatan dengan klaim bahwa birokrasi hanya sebagai pemborosan anggaran karena tidak diikuti oleh pelayan publik yang baik dan tidak produktif.
Pemerintahan wirausaha bersedia meninggalkan program dan metode lama. Ia bersifat  inovatif, produktif, efektif dan efisien, serta berani mengambil resiko. Sistem ini mengoptimalkan aset-aset negara atau daerah sebagai pendapatan, bukan sebagai penguras anggaran. Realitas harus memerintahkan dan menilai para pejabat negara dan pejabat daerah dengan apakah mereka mampu bekerja lebih keras dan lebih cerdas, serta menghasilkan pendapatan dengan anggaran yang kecil.
Secara mendasar pemerintahan dan perusahaan adalah lembaga yang berbeda. Pimpinan perusahaan didorong oleh motif laba untuk terus dapat menjalankan produksi  demi keberlangsungan usahanya, sedangkan pimpinan pemerintahan didorong oleh keinginan untuk kelanggengan kekuasaannya dan keuntungan pribadi tanpa memperdulikan kondisi birokrasi dan orang-orang yang dilayaninya. Perusahaan memperoleh income dari konsumennya, sedangkan pemerintah lebih besar memperoleh income dari sektor pajak. Perusahaan biasanya didorong oleh kompetisi, sedangkan pemerintahan biasanya didorong oleh kepentingan.






2.4.            Transformasi kewirausahaan dalam birokrasi
Transformasi kewirausahaan kedalam birokrasi dapat dilakukan dengan landasan makro dan mikro, dan keduanya harus dijalankan secara bersama-sama serta berkesinambungan.
a.       Landasan Makro          
Adapun landasan makro yang dimaksud adalah merubah regulasi kepegawaian, pola pikir, budaya, dan nilai-nilai kerja para PNS agar mereka bertransformasi menjadi PNS sebagai pelayan masyarakat yang produktif dan kompetitif. Selain itu, harus dipastikan keberlangsungan berjalannya sistem yang baik, sehingga terjadi perubahan positif menuju perbaikan kualitas pelayanan publik secara terus-menerus. Dalam tataran praktek, upaya peningkatan kualitas pelayanan publik dapat dilakukan melalui pengembangan model-model pelayanan publik seperti model contracting out dan franchising. Adapun dalam model contracting out, pemerintah memegang peran sebagai pengatur, sedangkan pelayanan publik dilaksanakan oleh swasta melalui suatu proses lelang. Untuk model franchising, pemerintah menunjuk pihak swasta untuk dapat menyediakan pelayanan publik tertentu yang diikuti dengan price regularity untuk mengatur harga maksimum.
Berdasarkan landasan makro tersebut, maka kesemuanya akan dirinci lebih lanjut dalam   bentuk konkrit program (landasan mikro).
b.      Landasan Mikro
Adapun landasan mikro yang dimaksud adalah:
1)      Penetapan standar pelayanan. Didalamnya tercakup pengembangan Standard Operating      Procedures (SOP), pelanjutan (penyempurnaan) Standar Pelayanan Minimum (SPM)     yang telah dilaksanakan oleh Depdagri.
2)      Pelaksanaan survei pelayanan publik. Untuk survei ini, maka dia dapat dilakukan oleh     Kementrian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara.
3)      Pembuatan indeks pelayanan publik. Untuk indeks ini dapat berasal dari penerapan     SPM di bidang lingkungan hidup, kesehatan, sosial, dan pemerintahan (kabupaten/kota), penyusunan anggaran Pemda, dan bidang pendidikan.
4)      Pengembangan sistem manajemen pengaduan.
Dari sisi mikro, pengaduan masyarakat merupakan satu sumber informasi bagi  upaya-upaya pihak penyelenggara pelayanan publik (PNS) untuk secara konsisten menjaga pelayanan yang dihasilkannya agar sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, perlu didisain suatu sistem pengelolaan pengaduan yang secara cepat, efektif dan efisien dalam mengolah berbagai pengaduan masyarakat, sehingga pengaduan masyarakat tersebut menjadi bahan masukan bagi perbaikan kualitas pelayanan publik ke depan.
5)      Dengan menggunakan model contracting out dan franchising perusahaan yang   memegang pelayanan publik akan berusaha untuk tetap memberikan pelayanan yang baik karena sewaktu-waktu mereka dapat digantikan oleh perusahaan lain apabila mereka tidak memberikan pelayanan yang baik terhadap publik.






















BAB III
P  E N U T U P

4.1.       Kesimpulan
Mewirausahakan birokrasi merupakan proses bagaimana menata dan mengolah birokrasi yang semula kaku menjadi birokrasi yang professional, inovatif dan tidak menyeleweng.
Praktek mewirausahakan birokrasi merupakan pola dalam mengubah tatanan birokrasi untuk menjadi lebih baik agar birokrasi tidak terpengaruh oleh kebijakan kepentingan golongan, kultur dan lain sebagainya. Perilaku mewirausahakan birokrasi juga dibutuhkan sikap responsive dan akuntabel dari pemerintah atau birokrat itu sendiri terhadap system dan pelayanan yang diterapkan. Sebagai masyarakat pun harus bertindak proaktif dan responsive terhadap berbagai jenis kebiajakn agar senantiasa mengawasi secara langsung  dalam pelayanan birokrasi tersebut. Pelaksanaan wirausaha birokrasi didasarkan pada prinsip-prinsi mewirausahakan birokrasi.
Konteks mewirausahakan birokrasi ini sendiri muncul dari adanya, .
1)      Organ pemerintah yang gemuk dan lamban, sehingga cenderung bersifat spending  daripada mendatangkan profit dalam wilayah fiskal.
2)      Pelayanan publik yang tidak efektif dan lambat, sehingga melahirkan  ketidakpercayaan masyarakat pada kapasitas pemerintah dalam menyelenggarakan pelayanan publik.

4.2.       Saran
Adapun saran yang dapat diberikan kepada pembaca dan penulis mengenai makalah ini adalah :
   
1)      Diharapkan hasil penulisan makalah ini dapat dijadikan sebagai bahan bacaan dan ilmu pengetahuan.